Wacana pembangunan PLTN terapung sudah dicanangkan beberapa tahun silam, akan tetapi hingga kini wacana tersebut belum terwujud. " Berdasarkan PP No 2 tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir, bahwa tapak didefinisikan sebagai lokasi di daratan yang dipergunakan untuk pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning instalasi nuklir beserta sistem terkait lainnya. Dengan demikian, adanya pembangunan instalasi nuklir selain di daratan belum ada aturannya" kata Direktur Perizinan Instalasi dan Bahan Nuklir, Dahlia C Sinaga pada acara focus group discussion di Universitas Brawijaya Malang, Jum’at, 3 Agustus 2018.
Sebagai respon atas usulan PT. PLN Kepada BAPETEN untuk melakukan terobosan peraturan dengan menerapkan pemanfaatan teknologi small modular reactor, termasuk PLTN terapung, telah dilakukan FGD yang bertujuan untuk mencari masukan keselamatan dan keamanan pengoperasian PLTN terapung, berdiskusi terkait pengalaman pengoperasian pembangkit listrik terapung yang sudah dilakukan, dan mengidentifikasi gagasan sekaligus mengumpulkan alasan teknis terkait dengan pembangunan PLTN terapung. Dalam acara tersebut dihadiri oleh evaluator BAPETEN, PT PLN (Persero), PT PAL (Persero) Surabaya, dan Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.
Pada Kesempatan ini, Kepala Teknik Perkapalan ITS, Wasis Dwi Aryawan menyatakan bahwa dalam menyusun regulasi terkait PLTN terapung harus mempertimbangkan UU No 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang mendefiniskan kapal sebagai kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah. Sehingga PLTN terapung termasuk sebagai bangunan terapung yang tidak berpindah. Dengan definisi tersebut maka PLTN terapung terikat dengan dua peraturan penting yaitu statutory regulation dan ship classification rules. Regulasi tersebut mengatur tentang keselamatan dan keamanan penumpang di atas kapal dan kapal harus memilki bendera yang didaftarkan ke salah satu negara oleh pemilik kapal. Dalam classification rules untuk pembuatan regulasi PLTN terapung, desain kapal harus mempertimbangkan external force berupa angin, gelombang, termasuk tsunami yang memiliki return period 100 tahun sehingga reaktor nuklir yang ada di dalam kapal tersebut dapat dioperasikan dengan selamat.
Sedangkan menurut Direktur Rekayasa Umum Pemeliharaan dan Perbaikan PT PAL Sutrisno, menyatakan telah 30 tahun memiliki pengalaman dan infrastruktur yang memadai untuk mendukung pembuatan pembangkit listrik terapung konvensional. Untuk dapat membuat PLTN terapung memerlukan dukungan dan komitmen yang kuat dari pemerintah, lembaga pendidikan dan industri dan disarankan untuk dapat dijadikan dalam program strategi nasional. Kepala Divisi Perencanaan Sistem PT PLN Adi Prayitno menjelaskan bahwa, saat ini PT PLN sudah menggunakan marine vessel power plant sebagai solusi jangka pendek dan menengah untuk mengatasi defisit listrik dalam rentang waktu cepat di beberapa daerah di Indonesia dan tidak memerlukan pembebasan lahan. PT PLN menyatakan siap dan menyambut baik jika direncanakan akan dioperasikan PLTN terapung dengan pertimbangan bisa menghemat bahan bakar dan menekan harga listrik meskipun memerlukan investasi yang besar. Kesiapan tersebut terlihat dari telah dilakukannya kerjasama dengan BATAN terkait rencana pembangunan Reaktor Daya Eksperimental (RDE).
Pada FGD sesi selanjutnya, dibahas rencana tindak pemenuhan kondisi izin tapak yang sudah diterima BATAN serta pembahasan desain RDE. Pada kesempatan FGD ini dihadiri oleh evaluator BAPETEN, Pusat Kajian Sistem Energi Nuklir (PKSEN) dan Pusat Teknologi dan Keselamatan Reaktor Nuklir (PTKRN) BATAN. Sinergi perusahaan BUMN Indonesia diharapkan akan meningkatkan kemandirian dalam negeri, seiring bertambahnya kandungan lokal dalam setiap proyek strategis pemerintah. Dukungan dari para akademisi sangat penting untuk pencapaian kemandirian dalam penyediaan sumber daya manusia, baik disisi pelaku usaha maupun badan pengawas untuk melakukan reviuw dan penilian keselamatan instalasi nuklir. (DPIBN/AA/BHO/BSB).