Tantangan BAPETEN Di Usia 13 Tahun Dalam Pengawasan Ketenaganukliran di Indonesia
Kembali 11 Mei 2011 | Berita BAPETEN(Jakarta,BAPETEN)
Mengawali kiprah di Ulang Tahun ke-13 ini, Kepala BAPETEN, As Natio Lasman menerima kunjungan wawancara dari Majalah NuTech (Nuclear Technology) BATAN, Mujiono di kantor BAPETEN pada Rabu pagi (11/5). Kepala BAPETEN yang dalam kesempatan ini didampingi oleh Kepala Subbagian Humas, Suprihatin, merefleksi tentang pekerjaan rumah BAPETEN, penjelasan Paska Fukushima dan sikap BAPETEN terhadap rencana pembangunan PLTN di Indonesia.
Wawancara dibuka dengan penjelasan beberapa pekerjaan rumah BAPETEN yang masih dalam proses, diantaranya reformasi birokrasi dan penyempurnaan jabatan fungsional pengawas radiasi. Selain itu terdapat juga tugas kedepan yang cukup membutuhkan persiapan matang yaitu persiapan model legislasi untuk nuklir. Model legislasi nuklir tersebut merupakan kelanjutan dari Konferensi Tingkat Tinggi Keselamatan Nuklir atau Nuclear Security Summit (NSS) di Washinton DC, USA pada April 2010 dimana Indonesia diminta mempersiapkan NSS 2012 di Korea Selatan. Tindak lanjut penting yang harus dilakukan adalah pembangunan laboratorium security and safeguard dimana labotorium tersebut merupakan fasilitas untuk pengembangan SDM dan dapat dimanfaatkan untuk nasional dan regional. "Selain itu sebagai langkah antisipatif terhadap perkembangan sekuriti nuklir di dunia", jelas Kepala BAPETEN.
Terhadap pertanyaan tentang segi pengelolaan atau manajemen kelembagaan, Kepala BAPETEN menjelaskan bahwa saat ini BAPETEN berusaha untuk tetap mempertahankan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dan mendukung semua hal untuk "Clean Governance" sebagai upaya mendukung reformasi biroktrasi. "Hanya dengan sistem manajemen yang baik dan target yang telah ditentukan kedepan yang sifatnya nasional dan internasional maka harapan pengawasan tenaga nuklir di Tanah Air dapat diupayakan lebih baik lagi melalui 3 pilar pengawasan yaitu peraturan perijinan dan inspeksi," tegas Beliau.
Terhadap pertanyaan tentang segi pengelolaan atau manajemen kelembagaan, Kepala BAPETEN menjelaskan bahwa saat ini BAPETEN berusaha untuk tetap mempertahankan opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dan mendukung semua hal untuk "Clean Governance" sebagai upaya mendukung reformasi biroktrasi. "Hanya dengan sistem manajemen yang baik dan target yang telah ditentukan kedepan yang sifatnya nasional dan internasional maka harapan pengawasan tenaga nuklir di Tanah Air dapat diupayakan lebih baik lagi melalui 3 pilar pengawasan yaitu peraturan perijinan dan inspeksi," tegas Beliau.
Hal itu cukup beralasan karena dalam rangka melihat suatu
teknologi, teknologi tersebut dapat dibedakan menjadi teknologi yang
sederhana atau yang banyak dijumpai dan teknologi yang canggih. Bagi
pengawas tenaga nuklir semakin teknologinya canggih maka semakin tinggi
pula resikonya. Hal ini akan mendorong bagi terlaksananya jaminan
apabila suatu instalasi nuklir itu bisa diijinkan maka BAPETEN menjamin
keselamatan bagi pekerja, masyarakat dan lingkungannya.
Berkaitan dengan kejadian di Fukushima, ada beberapa hal yang muncul di masyarakat seperti kekhawatiran terhadap radiasi yang masuk ke Indonesia atau terjadinya hujan asam maka BAPETEN pada 15 Maret 2011 memberi pernyataan pada konferensi pers bahwa tidak ada radioaktif yang masuk ke Indonesia yang membahayakan kehidupan masyarakat dan lingkungan. Hal tersebut diungkapkan setelah menganalisa pernyataan dari pemerintah Jepang dan juga IAEA pada waktu itu. Kemudian untuk mem-back up pernyataan tadi benar atau tidak maka BAPETEN secara kontinu bahkan sampai 6 bulan kedepan memonitor kondisi lingkungan yang ada di Menado, Bontang dan Jayapura. Dan hasil dari pemantauan ini tidak hanya sebagai data yang diperlukan BAPETEN sendiri, tetapi juga dilaporkan ke IAEA.
BAPETEN dalam menanggapi keresahan masyarakat maka sejak terjadinya peristiwa itu telah melaksanakan scanning penumpang yang masuk ke Indonesia melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta - Banten dan Ngurah Rai, Denpasar - Bali. Terdapat 3 Maskapai Penerbangan dari Jepang ke Indonesia yang di-scanning yaitu GIA, JAL, dan ANA Airlines. Selama itu berlangsung dilakukan pula upaya meluruskan opini publik bahwa kontaminasi itu berbeda dengan virus yang dapat menular. Dari hasil scanning tersebut ditemukan 4 orang yang terkontaminasi namun semua bisa didekontaminasi dengan baik.
BAPETEN dalam menanggapi keresahan masyarakat maka sejak terjadinya peristiwa itu telah melaksanakan scanning penumpang yang masuk ke Indonesia melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta - Banten dan Ngurah Rai, Denpasar - Bali. Terdapat 3 Maskapai Penerbangan dari Jepang ke Indonesia yang di-scanning yaitu GIA, JAL, dan ANA Airlines. Selama itu berlangsung dilakukan pula upaya meluruskan opini publik bahwa kontaminasi itu berbeda dengan virus yang dapat menular. Dari hasil scanning tersebut ditemukan 4 orang yang terkontaminasi namun semua bisa didekontaminasi dengan baik.
Dalam kesempatan lain, terdapat permintaan dari Bulan Sabit Merah Indonesia (BSMI) kepada BAPETEN untuk memberikan pelatihan-pelatihan tentang tanggap darurat nuklir. Diketahui bahwa pada waktu itu para relawan BSMI direncanakan akan berangkat ke Fukushima untuk membantu korban. Pengalaman BSMI dengan tsunami sudah biasa, namun dengan radiasi belum mengetahui sehingga perlu dilakukan pelatihan.
BAPETEN memberikan pelatihan juga terhadap Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) bagaimana men-scanning para penumpang. Selain itu juga menyarankan KKP agar penumpang melapor secara aktif ke KKP setempat untuk dideteksi apakah terpapar radiasi atau tidak. Pelatihan kepada KKP tersebut berkaitan dengan penggunaan detektor dan penanganan apabila terdapat kontaminasi.
BAPETEN memberikan pelatihan juga terhadap Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) bagaimana men-scanning para penumpang. Selain itu juga menyarankan KKP agar penumpang melapor secara aktif ke KKP setempat untuk dideteksi apakah terpapar radiasi atau tidak. Pelatihan kepada KKP tersebut berkaitan dengan penggunaan detektor dan penanganan apabila terdapat kontaminasi.
BAPETEN juga telah menyiapkan Team Tanggap Darurat Nuklir yang disampaikan ke Kementrian Luar Negeri melalui Duta Besar yang ada di Viena dan kemudian disampaikan ke Dirjen IAEA, Mr. Amano. Intinya bahwa BAPETEN telah menyampaikan kesiapan Team tersebut apabila diperlukan oleh Pemerintah Jepang. "Dan sampai dua hari yang lalu terdapat kabar bahwa salah satu personel team, Dedik Eko Sumargo diminta menjadi Team IAEA untuk dikirim ke Jepang", jelas Kepala BAPETEN.
Kepala BAPETEN kemudian menyampaikan pelajaran berharga dari peristiwa Fukushima - Jepang terkait dengan peraturan dan pembangunan PLTN di Indonesia. Peraturan ketenaganukliran telah mengatur adanya reliabilita atau ganti rugi dimana di Undang-Undang No. 10 Tahun 1997 disebutkan ganti rugi di Indonesia sebesar "hanya" 900 Milyar Rupiah sementara di Amerika bisa mencapai 3,2 sampai 3,4 Trilyun Rupiah. "Pemahaman ini perlu diluruskan bahwa Undang-Undang ini sudah diamandemen melalui Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2009, bahwa yang 900 Milyar tadi, karena harga dollar itu naik atau harga dollar itu berbeda ketika Undang-Undang itu dibuat; sekarang menjadi 4 Trilyun Rupiah. Jadi kalau ada kerugian maka pemegang izin tadi harus membayar 4 Trilyun Rupiah melalui asuransinya. Ini hal yang perlu diluruskan di publik" jelas Beliau.
Pelajaran yang penting dari Fukushima adalah Sitting atau tapak. Bangunan instalasi nuklir Fukushima telah didesain untuk gempa berskala 8, sedangkan gempa Fukushima yang terjadi berkekuatan 9,2 skala Righter dan diduga karena faktor tsunami sebagai penyebab tragedi reaktor meledak. Namun hal tersebut masih harus dibuktikan saat sudah dingin apakah ada dampak gempa terhadap reaktornya sendiri atau keretakan bangunan karena tsunami yang membuat Emergency Core Cooling System (ECCS) itu rusak atau tidak berjalan. Maka apabila ada rencana pembangunan PLTN di Indonesia, tentu ditempatkan di lokasi-lokasi yang kemungkinan gempa buminya berskala righter rendah atau kecil.
Pelajaran yang penting dari Fukushima adalah Sitting atau tapak. Bangunan instalasi nuklir Fukushima telah didesain untuk gempa berskala 8, sedangkan gempa Fukushima yang terjadi berkekuatan 9,2 skala Righter dan diduga karena faktor tsunami sebagai penyebab tragedi reaktor meledak. Namun hal tersebut masih harus dibuktikan saat sudah dingin apakah ada dampak gempa terhadap reaktornya sendiri atau keretakan bangunan karena tsunami yang membuat Emergency Core Cooling System (ECCS) itu rusak atau tidak berjalan. Maka apabila ada rencana pembangunan PLTN di Indonesia, tentu ditempatkan di lokasi-lokasi yang kemungkinan gempa buminya berskala righter rendah atau kecil.
Menjawab tentang sikap BAPETEN terhadap pembangunan PLTN di Indonesia, Kepala BAPETEN menegaskan bahwa secara formal BAPETEN yang dalam hal ini sebagai wasit belum menerima aplikasi perijinan sehingga belum bergerak. Seperti diketahui bahwa PLTN sudah digariskan dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2007 yang harus dilaksanakan. Berdasarkan Undang-Undang itu maka BAPETEN telah menyiapkan segala sesuatunya seperti peraturan dan SDM. Namun untuk menjawab kapan datangnya aplikasi perijinan itu di luar kewenangan BAPETEN. Dan sampai saat ini pembinaan SDM telah dilakukan melalui membina hubungan dengan lembaga pengawas di luar negeri, job training inspektur PLTN di luar negeri dan misi-misi IAEA. Hal tersebut telah siap baik saat perijinan tapak, konstruksi, komisioning, operasi dan dekomisioning PLTN.
Sumber : Humas