Situasi kelembagaan dan tata kelola pemerintahan di Indonesia banyak mengalami perubahan sejak Undang-Undang Ketenaganukliran diberlakukan selama hampir 20 tahun yang lalu. Masih terdapat aspek dari rangkaian siklus ketenaganukliran yang belum terakomodir secara memadai, mulai dari pengadaan bahan nuklir (termasuk pengadaan dan impor), pertahanan dan keamanan, serta pemanfaatan melalui fasilitas radiasi dan zat radiaoaktif.
Dalam rangka pemantapan lingkup materi RUU pengganti UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Direktorat Pengaturan Pengawasan Instalasi dan Bahan Nuklir BAPETEN, menggelar workshop yang dihadiri sejumlah pemangku kepentingan terkait lainnya di Jakarta, Kamis (23/3/2017).
Acara ini dibuka langsung oleh Kepala BAPETEN Jazi Eko Istiyanto, didampingi Deputi Pengkajian Keselamatan Nuklir Yus Rusdian Akhmad, serta Deputi Bidang Hukum dan Perundang-undangan Sekretariat Negara Muhammad Saptamurti.
Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam merevisi suatu undang-undang diantaranya RUU disesuaikan dalam prolegnas, dan melibatkan kementerian serta lembaga terkait. Dalam merevisi Undang-undang jangan sampai menabrak Undang-undang atau peraturan yang lain.
Guna mendapatkan kesimpulan dalam upaya memberikan solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada penerapan UU No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran maka dibentuk 11 kelompok kerja. Kelompok kerja tersebut melibatkan banyak instansi terkait seperti Kemenristekdikti, ESDM, Batan, Bappenas, DRN, BSN, Menpan RB, Kadin, BNPB, TNI, Polri, Kemenkes, Kemendag, Kemenperin, KLHK, Kemenhub, Bea Cukai, Kemenlu, Kemenkeu, OJK, Bakamla, BNPT, BIN, dan Kejaksaan Agung.(bho/rus/aa)