Bimbingan Teknis Perizinan dan Penegakan Hukum Penyimpanan TENORM
Kembali 07 Agustus 2018 | Berita BAPETENDisamping memiliki kekayaan sumber daya alam mineral penghasil timah yang melimpah, Provinsi Bangka Belitung dihadapkan pada permasalahan lingkungan terkait hasil samping penambangan timah yaitu timbunan hasil peleburan timah berupa TENORM. TENORM atau Technologically Enhanced Naturally Occurring Radioactive Material adalah zat radioaktif alam yang dikarenakan kegiatan manusia atau proses teknologi terjadi peningkatan paparan radiasi potensial jika dibandingkan dengan keadaan awal. Dengan adanya peningkatan kandungan zat radioaktif tersebut, maka TENORM dapat menimbulkan masalah kesehatan baik karena paparan eksterna maupun paparan interna yaitu jika zat radioaktif dalam TENORM masuk ke dalam tubuh manusia, baik melalui saluran pernapasan, pencernaan, luka pada kulit dan mata.
TENORM merupakan bagian dari objek pengawasan BAPETEN seperti ditekankan oleh Direktur Perizinan Instalasi dan Bahan Nuklir Dahlia C Sinaga, bahwa sesuai UU No. 10/1997 tentang Ketenaganukliran "setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin". Lebih lanjut menyatakan bahwa “Setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan keselamatan, keamanan, dan ketenteraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup". Keterangan ini disampaikan pada acara Bimbingan Teknis Perizinan dan Penegakan Hukum dalam Penyimpanan TENORM di Pangkalpinang, Provinsi Bangka Belitung pada Senin (06/08/2018). Hadir dalam kesempatan ini Kepala Bagian Hukum Indra Gunawan dan Kepala Subdit Perizinan Instalasi Nuklir Non-Reaktor BAPETEN Evin Yuliati sebagai pemateri, serta para peserta dari Dinas Lingkungan, dan Dinas Energi Sumber daya Mineral Provinsi Provinsi Bangka Belitung, PT Timah, serta pelaku usaha pertambangan timah lainnya.
Dalam pemaparanya, Evin menyatakan bahwa penggunaan kembali TENORM dapat diberikan setelah BAPETEN memberikan rekomendasi teknis tentang keselamatan radiasi untuk meminimalkan dampak radiologik terhadap pekerja, masyarakat dan lingkungan hidup. Pelaksanaan intervensi akibat adanya TENORM hanya diberlakukan jika jumlah atau kuantitas TENORM paling sedikit dua ton dan tingkat kontaminasi sama dengan atau lebih besar dari 1 Bq/cm2 dan atau konsentrasi aktivitas lebih besar 1 Bq/gram untuk tiap radionuklida anggota deret uranium dan thorium, atau konsentrasi aktivitas kalium sebesar sepuluh 10 Bq/gram. Koordinasi pengawasan terpadu terhadap TENORM perlu dikembangkan antar instansi pemerintah diantaranya Kementrian ESDM, SKK Migas, Kementerian perindustrian, Perdagangan, KLH, serta Pemda.
Penegakan hukum atas pelanggaran pidana terkait penyimpanan TENORM didasarkan pada pasal 17 UU No 10 tahun 1997 dilakukan berupa pidana denda paling banyak seratus juta rupiah atau jika tidak mampu bayar dipidana dengan kurungan paling lama satu tahun. Tindakan penegakan hukum adalah upaya terakhir sebelum tindakan refresif dilakukan sebagai upaya mendorong bahwa ada isu TENORM yang perlu diperhatikan. Bimbingan teknis ini merupakan upaya BAPETEN dalam penegakan hukum sebelum penegakan hukum dilakukan oleh Kepolisian. Koordinasi pelaksanaan penegakan hukum BAPETEN dan Kepolisian sudah dilakukan. Lebih lanjut Indra menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan kesepakatan bersama BAPETEN dan POLRI terkait penegakan hukum meliputi, pertukaran informasi, pendampingan dalam penanganan pelanggaran, kewenangan proses pelaporan, dan penanganan barang bukti. (DPIBN/AA)